pengetehuan hadits, sanad dan matan

 


PENGETAHUAN HADIS, SANAD DAN MATAN, CONTOH
HADIS DAN PENGERTIAN ULUMUL HADIS DAN MANFAAT MEMPELAJARINYA


M A K A L A H


Disampaikan dalam mata kuliah
“Ulumul Hadis”
Sebagai Ulangan Tengah Semester (UTS)
Semester I



 










Disusun oleh:
CARKASAN
NPM: 221240108051
Dosen pembimbing
FASIHAH.S.Th.I



FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2008/2009





KATA PENGANTAR


Kajian hadis nabi saw di Indonesia mulai semaraka seiring dengan kesadaran masyarakat untuk memahami ajaran islam dari sumber asalnya setelah al-Quran. Hadis nabi merupakan reportase kehidupan nabi saw. Beliau adalah manusia biasa yang menerima untuk memtauhidkan Allah dan membina moralitas, keimanan akan kerasulan ini menjadi tanggal awal manusia sebelum melaksanakan apa yang menjadi perintah Allah kepada manusia terhadap Rasul-nya. Allah swt telah menggambarkan lebih menggambarkan sosok utusan-nya ini dalam firman-firmannya, sebagaimana terekam dalam kitab al-Quran al-karim.
Maka tidaklah dapat di pungkiri bahwa muhammad saw adalah sosok sentral sekaligus examplary conduet (teladan). Karnanya pula seluruh aktualitas dirinya menjadi sorotan umat. Aktualitas nabi saw yang sarat dengan nilai-nilai keteladanan inilah yang di kenal kemudian dengan istilah al-sunnah al nabawiyyah. Mencakup di dalamnya ucapan nabi, tindakan nabi bahkan sampai karakter kepribadian nabi. Sebagian pula memasukkan untuk performace nabi saw.
Demikian sekilas teori dasar memahami hadis nabi saw, selanjutnya perlu mengkaji secara intensif untuk belajar sekaligus mendalami sunah nabi melalui hadis-hadis nabi, disamping memperlajari ilmu-ilmu lain yang membantu pada pemahaman komperhensip hadis nabi agar mendekati ketetapan dalam menggali sunnah nabawiyyah.
Besar harapan saya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin dan muslimah. Bila ada kekeliruan dalam penulisan, saya mohon maaf sebesar-besarnya, terima kasih


Indramayu, 20 Nopember 2008
Penyusun



C A R K A S A N
NPM : 221240108051



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 2

BAB I................................................................................................................................... 3
PENGERTIAN HADIS..................................................................................................... 3
A.    PENGERTIAN HADIS..................................................................................... 3
B.    PENGERTIAN SANAD DAN MATAN.......................................................... 4
1.  Sanad............................................................................................................ 4
2.  Matan............................................................................................................. 5
C.    CONTOH STRUKTUR HADIS....................................................................... 6
D.    PENGERTIAN ULUMUL HADIS DAN MANFAAT MEMPERLAJARINYA                       7
a.  Pengertian ulumul hadis........................................................................... 7
b.  Manfaat memperlajarinya.......................................................................... 7

BAB II.................................................................................................................................. 8
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS............................... 8
A.    Hadis pada masa nabi.................................................................................... 8
1.  Metode (manhaj) rasulullah dalam mengajarkan hadis...................... 9
2.  Metode (manhaj) sahabat menerima hadis......................................    16
3.  Tingkat pemehaman hadis di kalangan sahabat.............................    19
B.    Hadis pada masa sahabat.........................................................................    19
1.  Abu Bakar Al-Siddiq...............................................................................    20
2.  Umar Bin Khathab.................................................................................    20
3.  Usman Bin Affan....................................................................................    21
4.  Ali Bin Abi Thalib....................................................................................    21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................    23








BAB I
PENGERTIAN HADIS

A.   PENGERTIAN HADIS
Hadis berasal dari bahasa arab al-hadis bentuk jamaknya adalah al-ahadis, dan al- hudsan. Secara etimologis hadis dapat berarti al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan kawan dari al-Qadim (sesuatu yang lama). Hadis dapat juga berarti al-khabar, yaitu kabar atau berita. Hadis dengan makna yang di sebutkan terakhir ini sejalan dengan Q.S al-thur/52:34,Q.S ak-kahfil/18:5;juga al-dhuha/93:11
Sementara itu, menurut azami bahwa hadis dalam al-Quran terulang sebanyak 23 kali dan tersebar di berbagai surah al-Quran. Secara etimologis tersebut memilliki arti yang beraneka ragam sesuai dengan konteks ayat (sujaq al-kalam).
Sedangkan secara terminologis baik ulaa hadis maupun ulama ushul terjadi perbedaan pendapat di dalam mendefinisikan hadis, bahkan di kalangan ulama hadis pun juga terjadi perbedaan pendapat ketika memberikan batasan di maksud.
Diantara ulama ada yang mendefinisikan hadis dengan segala perkataan nabi saw, perbuatan dan hal ihlawnya. Ada pula yang mendefinisikan sebagai sesuatu yang bersumber dari nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, tahrir, maupun sifatnya. Demikian juga ada yang merumuskan dengan sesuatu yang di sandarkan kepada nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, tahrir, maupun sifatnya.
Sementara itu menurut ibnu al-subky (wafat 771 H=1370 M), pengertian hadis yang dalam hal ini disebut juga dengan istilah, sunna, adalah segala sabda dan perbuatan nabi muhammad saw.
Berbeda dengan ulama hadis \, ulama ushul dalam mendefiniskan hadis tanpa mencantumkan penampilan fisik nabi saw, seperti akhlak dan sejarah hidupnya, dengan rumusan yang demikian, maka segala sesuatu yang bersumber dari nabi saw, dan yang tidak terkait dengan hukum atau misi kerasulannya, tidak dapat disebut hadis.
Secara sepintas, beberapa definisi diatas, terkesan bahwa hadis hanya terbatas kepada hal-hal yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat nabi saw. Semati pada hal ada sebagian muhadisin yang memberikan definisi yang jauh lebih luas cakupannya. Dibandingkan hanya sekedar beberapa atribut yang telah di sebutkan itu, sehingga mereka merumuskan definisi hadis sebagai segala sesuatu yang diwakilkan dari nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat yang mahlukan, akhlak maupun sejarah hidupnya yang terjadi sebelum atau sesudah ia diangkat menjadi rasul.
Dari beberapa definisi diatas jelas sekali bahwa yang di maksud dengan hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan (di nisbahkan) kepada nabi saw. Namun kalau kita membuka beberapa literatur hadis, khususnya kitab-kitab hadis yang tergolong dalam kitab al-sittah, maka akan kita temukan beberapa riwayat yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ucapan, perbuatan, atau taqrir nabi saw.
Melihat kenyataan yang demikian, maka definisi hadis menurut sebagian ulaa perlu di perluas bagi, yaitu tidak hanya terbatas pada apa saja yang di sandarkan kepada nabi saw tapi juga pada sahabat. Sehingga definisi hadis menjadi segala sesuatu yang di sandarkan kepada nabi saw, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbatkan kepada sahabat. Tidak hanya itu saja, bahkan di dalam beberapa literatur hadis juga di temukan beberapa riwayat yang secara langsung tidak terhubungan dengan nabi saw ataupun para sahabat, yaitu hadis yang disandarkan kepada para ulama sesudah sahabat (tabi’in). sehingga al-tirimisi, memberikan batas bahwa hadis tidak hanya terbatas pada apa yang disandarkan kepada nabi saw semata, tapi juga sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat (yang kemudian di kenal dengan hadis mauquf) dan sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in (yang kemudian dikenal dengan hadis maqtu)
Konsekuensi dari adanya usaha untuk memperluas definisi hadis berdasarkan fakta-fakta historis sebagaimana dijelaskan berdampak pada adanya perbedaan (ikhtilaf) dala memahami konsep sunnah. Sehingga sunah tidak saja terbatas pada amalan-amalan nabi saw, tetapi juga mencakup perilaku para sahabat, bahkan tabi’in . tidak sedikit orang mengamalkan sunnah sahabat atau tabi’in yang justru tidak pernah rasulullah saw lakukan.

B.   PENGETIAN SANAD DAN MATAN
  1. Sanad
Sanad menurut bahasa : Sandaran, Tempat kita bersyukur. Maka surat hutang juga dinamai sanad.dan berarti  : yang dapat dipegang, dipercaya, kaki bukit, atau gunung juga disebut. Jamaknya : Asnad dan Sanadat.
Menurut istilah ahli hadis, jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Apabila seseorang perawi berkata, di kabarkan kepadaku oleh Malik yang menerimanya dari Nafi’, yang menerimanya dari Abdullah Ibn ‘Umar bahwa Rasul bersabda : maka perkataan-perkataan perawi itu dikabarkan kepadaku oleh Malik hingga sampai kepada bersabda Rasul SAW, dinamai sanad dan disebut juga : Thariq dan Wajh. Tetapi kadang-kadang perkataan sanad, dimaksudkan isnad. 
  1. Matan
Matan menurut bahasa : punggung jalan ( muka jalan ), tanah yang keras dan tinggi, matan kitab, ialah yang tidak bersifat komentar dan bukan tambahan penjelasan. Jamaknya mutun .
Dimaksud dengan kata matan  dalam ilmu hadis,  ialah penghujung sanad, yakni sabda Nabi SAW. Disebut sesudah habis disebutkan sanad.









C.   CONTOH


STRUKTUR HADIS

 

































D.   PENGERTIAN ULUMUL HADIS DAN MANFAAT MEMPELAJARINYA
a.   Pengertian Ulumul Hadis
Ungkapan ulumul hadis berasal dari bahasa Arab, yaitu berasal dari kata Ulum dan Al Hadis. Kata Ulum merupakan bentuk jamak dari kata ilmu. Ilmu yang dimaksud dismi adalah sejumlah materi pembahasan yang dibatasi kesatuan tema atau tujuan.adapun Al Hadis bentuk jamaknya adalah Al Hadis, Al-hidsan, dan Al-hudsan. Secara etimologi Al Hadis dapat berarti Al-jadid ( sesuatu yang baru ).
Dengan demikian, secara bahasa, Ulumul Hadis adalah ilmu ( pembahasan ) yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan taqrir Nabi SAW.
Adapun mengenai definisi Ulumul Hadis berdasarkan istilah para ulama memberikan redaksi yang berbeda-beda.

b.   Manfaat Mempelajarinya
Dalam mempelajari Hadis atau Ulumul Hadis atau juga studi ilmu-ilmu Hadis, kita akan banyak menemui sesuatu yang baru ( Al-jadid ) seperti yang sudah dijelaskan diatas. Dengan demikian, kita akan mengetahui banyak hal tentang semua qaul, af’ah dan taqrir Nabi SAW. Yang pada akhirnya kita akan dapat membedakan berbagai macam Hadis bila ditinjau dari kwalitasnya dan kuantitasnya, tentang kesohehan sebuah hadis dan kemutawatiran sebuah hadis. Dan kitapun akan dituntut untuk bisa membedakan dari berbagai hadis, sanad, matan, dan perawinya.
Sebagai orang yang beragama islam, maka wajiblah hukumnya untuk mempelajarinya ilmu-ilmu hadis, karena hadis adalah sumber hukum islam kedua setelah Al-Qur’an, agar ketika kita menerapkan sebuah hadis, tidaklah keluar dari koridor Al-Hadis itu sendiri.
Demikian pentingnya kita mempelajarinya  ilmu-ilmu hadis, dan tidaklah rugi bagi kita untuk mempelajarinya bahkan sebuah anugerah andaikan kita diberi kepandaian untuk mempelajari ilmu-ilmu hadis. Dengan mempelajari ilmu hadis ini, iman kita akan bertambah tebal dan jiwa kita akan bertambah kuat, karena kita akan mengetahui karakteristik junjungan kita yakni Nabi Besar Muhammad SAW.

BAB II
SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS

A.   HADIS PADA MASA NABI SAW
Allah SWT telah memilih Rasulnya Muhammad guna untuk menyampaikan risalah ketuhanan kepada seluruh umat manusia, membacakan ayat-ayatnya serta mengajarkan Kitab Suci Al-Qur’an dan juga hikmah. Allah SWT juga telah memberikan kepada Rasulullah SAW beberapa karunia yang sangat besar lagi sempurna serta mengajarkannya apa-apa yang belum ia ketahui. Allah berfirman :
“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun padamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan hikmah padamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yan belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu” (QS. An-Nisa 4 :113).
Dalam menyampaikan risalahnya beliau mengabiskan waktu dua puluh tiga tahun lebih, dan ini bukanlah jangka waktu yang pendek. Jangka waktu yang lamu itu, sekaligus merupakan periode pengajaran terhadap sendi-sendi dasar bagi pembangunan peradaban Islam yang luhur, yang telah merubah wajah sejarah dan mengembangkannya dalm berbagai aspek kehidupan.
Dalam mengemban tugas sucinya yang sangat berat tersebut, beliau menghadapai berbagai macam cobaan dan rintangan serta penuh resiko, yang tentunya hal itu hanya  dapat dilalui oleh mereka yang memiliki teguhan iman dan hati. Oleh karenanya Allah telah membekali dirinya Muhammad dengan berbagai perbekalan yang sangat agung, baik dari segi keilmuan maupun etika. Untuk kategori yang disebutkan terakhir, bahwa beliau digambarkan sebagai seseorang yang memiliki budi pekerti yang agung. “dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al- Qalam / 52 : 4). Bahkan dalam suatu hadis disebutkan bahwa ahlak beliau diidentikan sebagai alqur’n sedangkan dari aspek keilmuan, Allah telah mengajarkan kepada beliau segala sesuatu yang belum diketahuinya. Oleh karenanya beliau telah mencapai puncak keilmuan yang belum pernah dicapai oleh manusia lainnya.
Metode Rasulullah SAW dalam memjelaskan risalah ketuhanan (baca: Al-qur’an) tersebut, adakalanya melalui perkataan (aqwal), perbuatan praktis (af’al), maupun ketetapan (taqrir), oleh karenanya, segala apa yang dilihat ataupun disaksikan oleh para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau merupakan landasan bagi amaliyah sehari-hari mereka yang wajib untuk diikuti dan ditaati. Mereka merasa yakin bahwa rasulullah merupakan figur pemimpin yang populis, yang mampu mengayomi semua kalangan masyarakat, dari golongan masyarakat tingkat atas sampai tingkat yang paling bawah sekalipun. Setiap sahabatnya dapat bergaul dengan beliau secara bebas tanpa harus mengikuti aturan-aturan protokoler layaknya seorang pemimpin pemerintah, kecali pada waktu dan situasi tertentu yang tidak memungkinkan mereka bertemu Rasulullah, seperti pada saat beliau sedang beristirahat. Bahkan Rasulullah sendiri berinisiatif dan menyempatkan diri untuk bergaul dengan mereka tanpa harus merasa gengsi karena keberadaan beliau sebagai seorang utusan Tuhan. Oleh karenanya, beliau dimata sahabatnya sebagai idola yang sangat sempurna. Menurut mereka, Rasulullah merupakan pusat kehidupan keagamaan dan keduniawiaan, bahkan beliaulah yang mampu menyelmatkan mereka dari segala kesesatan dan kegelapan menuju hidayah dan cahaya.
Pada masa ini, Nabi juga memerintahkan kepada mereka, lebih khusus kepada sekretarisnya- untuk menulis al-qur’an setiap wahyu turun kepadanya. Pada kesempatan yang sama beliau juga melarang untuk menuliskan sesuatu selain Al-Qur’an. Rasulullah SAW bersabda : “janganlah kamu menulis sesuatu (yang kamu terima)Al-Qur’an. Barang siapa yang telah menulis sesuatu selain al-qur’an, hendaklah dihapuskan” (HR. Muslim dari Abu Said al-Khudriy). Meskipun demikian, para sahabat  dengan berbagai alasan berinisiatif untuk menuliskannya disamping wahyu al-Qur’an. Larangan akan tercampurnya al-Qur’an dengan hadis Nabi saw, sebagaimana yang selama ini menjadi anggapan banyak orang, tetapi semata-mata hanya karena keinginan supaya perhatian lebih khusus ditujukan kepada al-Qur’an.
  1. Metode (manhaj) Rasulullah dalam Mengajarkan Hadis
Pada hakikatnya metode yang digunakan Rasulullah dalam mengajarkan hadis kepada para sahabatnya tidaklah jauh berbeda dengan metode yang digunakan beliau ketika mengajarkan al-Qur’an. Informasi mengenai hal ini dapat dijumpai dalam beberapa hadis beliau. Dan kalau kita menelaah lebih jauh beberapa hadis Nabi tersebut, sebenarnya beliau di dalam menyampaikan hadisnya tidak hanya terikat oleh satu macam cara saja.
Menurut Dr. Syuhudi Ismail, setelah mengutip beberapa hadis nabi, beliau berkesimpulan bahwa metode yang digunakan Nabi dalam menyampaikan hadisnya sangatlah berfariasi, sesuai dengan bentuk-bentuk hadis beliau, diantaranya melalui lisan, perbuatan, taqrir, dan juga hal ikhwal beliau. Menurutnya, hadis yang berupa sabda, adakalanya Nabi menyertakan perintah kepada sahabat tertentu untuk menulisnya. Namun pada umumnya, Nabi tidak menyertakan perintah tersebut. Adakalanya sabda itu dikemukakan oleh Nabi karena sebab tertentu dan umumnya dikemukakan tidak karena adanya sebab tertentu. Adakalanya sabda Nabi itu dikemukakan dihadapan orang banyak dan ada pula yang dikemukakan di hadapan beberapa orang atau seorang saja.
Demikian juga hadis yang berupa perbuatan, ada yang disampaikan oleh Nabi karena sebab tertentu, ada yang tanpa didahului oleh sebab tertentu, ada yang disampaikan di hadapan orang yang banyak dan ada yang disampaikan di hadapan orang-orang tertentu saja.
Sedangkan hadis yang terbentuk taqrir, terbatas penyampaiannya. Ini disebabkan “kelahiran” taqrir Nabi berkaitan erat dengan peristiwa tertentu yang dilakukan oleh sahabat Nabi. Sementara itu, hadis yang berupa hal-ikhwal Nabi – menurutnya lebih lanjut – bukanlah merupakan .aktifitas Nabi. Sebab, Nabi dalam “menyampaikannya” bersikap pasif saja, hanya saja yang aktif dalam hal ini adalah pihak sahabat Nabi.
Pendapat diatas sesenada dengan pendapatnya Muhammad Mushtafa “Azami. Menurutnya, metode yang digunakan Rasulullah SAW dalam mengajarkan hadisnya dapat diategorikan menjadi tiga macam, pertam, dengan menggunakan lisan. Yang termasuk kategori ini adalah dalam bentuk ceramah yang diadakan di Majlis Nabi. Nabi dalam menyampaikannya kadangkala didepan orang banyak, yang terdiri dari kaum laki-laki maupun perempuan, adakalanya hanya dihadiri oleh kaum laki-laki saja, atau sebaliknya yaitu hanya untuk kaum wanita setelah mereka memintanya. Apabila yang disampaikannya itu merupakan sesuatu yang sangat penting, beliau biasa mengulanginya sampai tiga kali. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam menghafalnya dan memahami maknanya.
Kedua, melalui tulisan, yaitu dengan cara mengirim surat keberbagai kepala negara atau pembesar daerah yang lainnya, baik dari kelompok muslim maupun non muslim.surat-surat itu diantaranya berisi tentang ajakan untuk memeluk Islam bagi penguasa non-muslim, atau berisi tentang berbagai masalah seperti masalah hikum, zakat, pajak, bentuk-bentuk ibadah, dan sebagainya. Dalam riwayat juga disebutkan bahwa perjanjian damai di Hudaibiyah antara Nabi dengan orang-orang musyrikin Mekkah juga dibuat secara tertulis. Karena Nabi seorang yang ummi (tidak bisa baca dan tulis), maka semua surat dan perjanjian tersebut tidak ditulis sendiri, melainkan ditulis oleh para sekretarisnya, yang menurut ‘Azami, sekretaris Nabi itu mencapai kurang lebih45 orang. Masih menurut ‘Azami, bahwa yang juga termsuk dalam katergori yang kedua ini adalah apa yang didektekan beliau kepada para sahabatnya, seperti ‘Ali bin Abi Thalib, dan beberapa tulisan ‘Abdullah bin ‘Amr  bin al-Ash, juga perintah beliau untuk mengirimkan salinan khutbahnya kepada Abu Syat, seorang warga Yaman.
Ketiga, dengan cara peragaan praktis, atau yang menurut Syuhudi Ismail biasa disebut dengan penyampaian melalui perbuatan. Dalam hal ini Nabi memberikan contoh praktis kepada paa sahabatnya tentang berbagai masalah. Seperti bagaimana cara melakukan wudlu, shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Biasanya Nabi dalam memberikan contoh praktis trsebut diikuti dengan adanya perintah untuk mengerjakannya. Nabi bersabda: “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat”. Atau sabda beliau yang lain: “Belajarlah dariku tentang ritual(manasik) haji”. Kalau seandainya beliau ditanya oleh sahabat tentang suatu masalah, dan jawabannya mengharuskan dalam bentuk tindakan, maka biasanya beliau meminta kepada si penannya untuk tinggal bersama dan belajar melalui pengamatan terhadap praktik beliau.
Menurtnya lebih lanjut, bahwa selain ketiga metode yang telah disebutkan diatas, nabi dalam menyebarkan sunnahnya juga menggunakan metode-metode lain seperti (1) mendirikan lembaga pendidikan. Lemaga ini didirikan oleh Nabi di Madinah sesaat setelah kedatangannya disana. Kebijaksanaan umumnya adalah mengirim para guru dan penceramah keberbagai yang beragam diluar kota Madinah; (2) pengarahan Nabi tentang pentingnya penyebarluaskan ilmu pengetahuan. Sebagaimana sabdanya: “sampaikanlah sesuatu (ilmu pengetahuan) dariku meskipun hanya satu ayat”. (Bukhori, Anbiya, 50); (3) memberikan janji pahala bagi guru dan murid. Nabi tidak hanya memberikan pengarahan untuk mendidik masyarakat, tetapi juga menyebutkan imbalan pahala yang besar bagi para guru dan murid. Belajar dan menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sementara itu orang yang sengaja menyembunyikan ilmu akan diganjar dengan neraka. Pernyataan yang sama juga dapat ditemukan dalam al-qur’an, seperti Q.S. al-baqarah/ 2:159.174.
Beberapa metode pengajaran Nabi sebagaiman dijelaskan oleh ‘Azami dn juga Syuhudi Ismail diatas, nampaknya lebih bersifat teknis. Karena hanya menekankan pada instrumen yang digunakan oleh Nabi ketika menyampaikan hadisnya, yaitu lisan, tulisan, dan perbuatan, dan belum banyak menyentuh pada aspek-aspek metodologisnya, meskipun secara singkat ‘Azami telah melakukannya.
Untuk lebih melengkapi terhadap apa yang telah dijelaskan diatas, baik kiranya disini dikemukakan penjelasan Dr. M. ‘Ajjaj al-Khatib, yang dalam hal ini ia telah menguraiakannya lebih kepada aspek metodologisnya, metodg dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, pengajaran bertahab. Metode ini digunakan Rasulullah saw dalam rangk menjelaskan al-qur’an, karena penjelasan beliau baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, maupun taqrir-nyamerupakan sunnah. Al-qur’an sendiri mnggunakan metode ini ketika menentang akidah yang sesat, tradisi-tradisi yang membahayakan, dan memberantas segala bentuk kemungkaran yang dilakukan oleh manusia pada masa pra Islam.metode ini juga digunakan al-qur’an  ketika menanamkan aqidah yang benar, ibadah, hukum, ajaran etika luhur dan membangkitkan keberanian orang-orang yang berada di sekitar Nabi saw agar selalu bersabar.
Kedua, mendirikan pusat-pusat pengajaran. Dalam hal ini Rasulullah saw menjadikan Dar al-Arqam sebagai pusat (markas) dakwah islamiyah, yang sebelumnya beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Tempat itu juga biasa dikenal dengan “Dar al-islam”. Rasululllah juga menggunakan tempat tingggalnya di Mekkah sebagai pusat kegiatan kaum muslimin yang ingin mempelajari dan menerima al-qur’an dan sunnahnya. Tidak hanya itu saja, beliau juga menggunakan tempat-tempat lain seperti masjid, yang selain sebagai pusat ibadah juga tempat untuk mendirikan fatwa dan tempat untuk menyelesaikan berbagai persoalan baik yang bersifat keagamaan maupun umum.
Selain yang disebutkan diatas, beliau dalam mengajarkan sunnahnya kadangkala tidak terikat oleh tempat ataupun situasi tertentu. Ketika beliau diperjalanan ditanya tentang suatu masalah, maka ditempat itu pula beliau memberikan fatwanya. Apabila beliau dalam mengajarkan sunnahnya menghendaki untuk duduk misalnya, maka para sahabatnya pun juga akan mengikutinya dengan cara melingkari beliau. Dari Anas r.a. diriwayatkan: “Bahwasanya tatkala mereka selesai mengerjakan shalat subuh, mereka duduk membentuk ‘halaqah’ seraya membaca al-qur’an dan mempelajari berbagai kefardhuan dan kesunnahan”.
Ketiga, lebih mengedepankan etika dalam pengajaran. Rasulullah saw disamping sebagai seorang figur pendidik, beliau juga sebagai penyelamat, pengajar, dan sekaligus pembimbing yang baik. Dimata para sahabatnya, beliau merupakan saudara yang rendah hati, guru yang bijaksana, bahkan sebagai ayah yang penyayang. Anggapan yang demikian tidaklah berlebihan, karena beliau diutus di dunia ini pada dasarnya adalah untuk menyempurnakan budi pekeerti umat manusia. Dalam mengajarkan sunnahnya beliau menggunakan bahasa yang santun dan dapat menentramkan hati bagi para pendengarnya. Beliau bersabda: “Bagi kalian aku hanyalah seperti ayah. Karena itu, bila kalian buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat dan jangan (pula) membelakanginya.
Keempat, bervariasi dalam pengajaran. Metode ini digunakan untukmenghilangkan kejenuhan dan kebosanan di kalangan para sahabat. Secara umum, suatu pengajaran yang memerlukan waktu lama dan bersifat menonton akan membuat jiwa lebih cepat bosan, dan sydah barang tentu hasilnya pun tidak akan efektif. Hal ini sebagimana hadis riwayat Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud, katanya: “Nabi saw memberikan senggang waktu dalam memberikan mau’idhah kepada kita, karena enggan membuat kami jenuh”.
Kelima, memberikan contoh praktis kepada para sahabatnya. Metode ini merupakan metode yang paling efektif untuk menemkan ilmu pengetahuan dalam jiwa seseorang yang mempelajarinya. Karena suatu ilmu pengetahuan tanpa dibarengi dengan praktik hanya akan menjadi sebuah teori belaka. Sebaliknya ilmu pengetahuan yang disertai dengan bentuk peragaan praktik akan lebih melekat dalam hati. Berkenaan dengan hal ini, Abdurrahman berkata:
“Telah meriwayatkan kepada kami orang-orang yang mengajarkan al-qur’an kepada kami seperti Usman bin Affan, Abd Allah bin Mas’ud, dan lain-lain,bahwasanya apabila mereka telah belajar dari Nabi saw sepuluh ayat, mereka tidak akan meneruskan sehingga mereka mengetahui ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata: kami belajar al-qur’an, ilmu, dan amal secara sekaligus”.
Keenam, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Rasulullah saw sadar sepenuhnya bahwa dalam mengajarkan sunahnya beliau menghadapi suatu komunitas yang tidak sama baik dalam pola berfikir maupun bertindak.oleh karenanya, beliau harus berbicara kepada mereka dengan bahasa yang dapat diterima oleh semua golongan, baik dari segi usia maupun temperamen emosionalnya. Metode yang digunakan untuk menghadap anak-anak akan berbeda dengan orang dewasa ataupun orang tua.demikian juga, metode yang digunakan untuk menghadap masyarakat pedalaman akan berbeda dengan masyarakat yang hidup di perkotaan. Karena suatu pembicaraan yang tidak dapat dipersepsi oleh akal pendengarnya, kadangkala justru menjadikan fitnah. Sehingga yang terjadi bukannya membuat mereka semakin mengerti dan memahami tentang suatu permasalahan, tetapi malah sebaliknya, akan semakin membingungkan. Kepada mereka yang memiliki tingkat intelektual yang tinggi misalnya, beliau menjelaskannya hanya dengan analogi saja. Hal ini sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata:
“Ada seseorang dari warga Fazarah menghadap Nabi saw seraya berkata: “Sesungguhnya istriku melahirkan anak yang berkulit hitam, dan aku taidak mengakuinya”. Lalu Nabi saw bertanya kepadanya: ”apakah kamu mempunyai unta?” Ia menjawab: “Ya”. Beliau bertanya: “Apa warna kulitnya?”. Ia menjawab: “Merah”. Beliau betanya: ”Apakah diantara unta itu ada yang berwarna keabuan?”. Ia menjawab: “Ada”. Beliau bertanya lagi: “bagimana bisa begitu?”. Ia menjawab: “Mungkin dipengaruhi oleh faktor keturunan”. Beliau bersabda: “Nah, anakmu itu barangkali dipengaruhi oleh faktor keturunan”.
Dalam proses belajar-mengajarnya, Nabi saw disamping melihat tingkat intelektual yang dimiliki pada audiennya, beliau juga mengedepankan nilai-nilai perasaan dan hati nurani. Hal ini dimaksudkan untuk menggugah perasaan dan menggetarkan qalbu para pendengarnya. Dalam menanggapi berbagai persoalan yang ditujukan kepadanya, beliau tidak bersikap emosional dan lebih bersifat hati-hati, sekalipun pertanyaan-pertanyaan tersebut dirasakan sangat aneh bagi orang yang mendengarkannya. Hal ini sebagaimana riwayat Abu Umamah al-Bahilliy, bahwa ada seorang pemuda Quraisy menghadap kepada Nabi saw, seraya   berkata :
“Wahai Rasulullah, izinkan aku berbuat zina”. Kemudian orang-orang berdatangan untuk mencegahnya. Namun beliau bersabda : “Biarkan saja”. Beliau bersabda : “Mendekatlah”. Lalu pemuda  itu mendekati Nabi saw. Kemudian Nabi bertanya kepadanya : “Apakah engkau senang bila hal ini terjadi pada ibumu?”. Ia menjawab : “Tidak, demi Allah, semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. Lalu beliau bersabda : “Orang-orang juga tidak senang bila hal ini terjadi pada ibu mereka”. Kemudian beliau bertanya lagi : “Apakah engkau senang bila hal ini terjadi pada putrimu?”. Ia menjawab : “Tidak, demi Allah. Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. Beliau bersabda : “Orang-orang juga tidak senang bila hal ini terjadi pada putri mereka”. Lalu Rasulullah menceritakan kepadanya perihal saudarinya, bibinya baik dari pihak ayah maupun ibunya. Masing-masing ditanggapi oleh pihak pemuda itu dengan jawaban yang sama, yaitu : “Tidak, demi Allah. Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu”. Perawi mengatakan : “Kemudian Nabi saw meletakkan tangan beliau di dada pemuda itu, seraya berdo’a : “Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya dan peliharalah kemaluannya”. Perawi berkata : “Setelah itu, pemuda tersebut tak menoleh sesuatu pun”.
Ketujuh, memudahkan dan tidak memberatkan. Tujuan penggunaan metode ini disamping agar apa yang disampaikannya mudah dipahami dan diterima oleh semua kalangan masyarakat, juga supaya mereka tidak menganggap bahwa Islam adalah suatu agama yang sulit dan terkesan memberatkan. Artinya bahwa meskipun dalam menyampaikan risalah ketuhanan tersebut menggunakan cara yang tegas, tetapi tetap memilih yang termudah, longgar, dan tidak memberatka bagi umatnya. Beliau memberikan kemudahan dalam berbagai persoalan dan tidak berbelit-belit dalam segala urusan. Imam Bukhari meriwayat hadis dari Abu Hurairah, ia berkata :
“Seorang pedalaman masuk masjid, lalu shalat dua rakaat. Kemudian ia berdoa : “Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah engkau rahmati bersama kami seorang pun. Lalu Nabi saw menoleh kepadanya, seraya berkata : “Engkau hendak menutup sesuatu yang lapang?”. Tidak berapa lama kemudian orang tersebut kencing di dalam masjid. Orang-orang yang melihatnya bergegas untuk mencegahnya. Namun Rasulullah saw mengatakan kepada mereka : “Sesungguhnya kalian diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan, dan tidak diutus sebagai orang-orang yang menyulitkan, siramkan seember air pada bekas kencingnya”.
Pada hadis yang lain, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Ibn Abbas bahwa beliau bersabda : “Mengajarlah kalian. Permudahlah dan jangan mempersulit. Dan bila salah seorang diantara kalian marah, maka hendaklah diam”. Rasulullah juga bersabda : “Permudahlah dan jangan mempersulit. Gembirakanlah dan jangan membuat orang lain lari”.
Kedelapan, mendirikan pengajaran bagi kaum wanita. Selain beliau memberikan pengajian bagi kaum yang umumnya adalah laki-laki, beliau juga mendirikan pengajian bagi kaum wanita setelah mereka memintanya. Pernah suatu hari datang kepada beliau beberapa wanita sereaya mengatakan :
“Kaum pria telah mengalahkan kami (untuk memperoleh pengajaran) dari Anda. Karena itu, mohon Anda menyiapkan satu hari untuk kami (kaum wanita). Maka Nabi menjanjikan satu hari untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu. Dalam pengajian itu nabi memberi nasihat  dan meyuruh mereka (untuk perbuat kebajikan). Nabi bersabda kepada kaum wanita : “Tidaklah dari kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, melainkan ketiga anak itu menjadi dinding baginya dari ancaman api neraka”. Seorang wanita bertanya : “Dan bagaimana jika yang mati dua orang anak saja?. Nabi menjawab : “Dua orang anak juga (menjadi dinding baginya dari ancaman api neraka)”. (HR. Bukhari dari Abiy Sa’id al-Khudriy).
Beberapa metode pengajaran yang diterapkan oleh Rasulullah saw sebagaimana diuraikan di atas, telah memberikan dampak yang angat positif bagi para pengikutnya dan telah membawa Islam kepada puncak kejayaannya. Metodologi pengajaran seperti ini seharusnya menjadi tolak ukur bagi para da’i, pendidika, dan juga begi mereka yang ingin menyebarkan dan menegakkan kalimat Tuhan (li l’lai kalimatilah) demi tercapainya Islam yang dicita-citakan.

  1. Metode (manhaj) Sahabat Menerima Hadis Nabi saw
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Rasulullah saw. Dapat bergaul dengan para sahabatnya dengan bebas tanpa ada dinding pemisah antara mereka semua. Beliau dapat bertemu mereka di sembarang tempat, baik di masjid, rumah, dalam perjalanan, ketika beliau mukim, bahkan di pasar sekalipun. Dengan demikian, mereka dapat secara mudah memperoleh hadis dari Rasul saw. Para sahabat sendiri sangat antusias dan memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hadis-hadis Nabi dan mereka berusaha keras untuk menerimanya sebagaimana sikap mereka terhadap al-Qur’an. Sikap sahabat ini dapat ditunjukkan oleh adanya kerjasama di antara mereka dalam memperoleh hadis beiau. Artinya bahwa mereka selalu bergantian ketika mendatangi majlis Nabi saw. Hal ini sebagaimana terekam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahih-nya tentang penjelasan Umar bin al-Khathtab sebagai berikut :
“Dulu aku dan seorang tetanggaku dari golongan Anshar kalangan Bani Umayyah bin Zaid – dan mereka itu termasuk golongan atas Madinah – bergantian menyertai Rasulullah : ia menyertai beliau sehari, dan aku menyertai beliau sehari. Dan jika aku menyertai Rasul, maka aku akan datang kepada tetanggaku itu membawa berita hari itu, begitu pula jika ia menyertai Rasul”.
Dari hadis diatas dapat dipahami bahwa para sahabat mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap hadis Nabi saw. Guna untuk mendapatkan petunjuk dari pandangan dan juga amal beliau. Bahkan, karena sangat antusiasnya mereka mengikuti majlis Nabi saw, diantara mereka – yang tempat tinggalnnya jauh dari Madinah – mengirimkan utusan kepada Rasulullah untuk belajar hukum-hukum Islam dari beliau. Pernah suatu ketika seorang wanita memberitahukan kepada ‘Uqbah bin Harits bahwa wanita itu adalah ibu susu bagi ‘Uqbah dan istrinya. Mendengar hal itu, ‘Uqbah segera menunggang kendaraannya meninggalkan kota Mekkah menuju Madinah (jaraknya kira-kira 480 km). Ketika ia sampai kepada Rasulullah, langsung ia menanyakan tentang hukum Allah mengenai orang yang kawin dengan seorang wanita yang tadinya tidak diketahuinya sebagai saudara sesusuan dan baru kemudian diketahui dari orang yang menyusuinya. Rasulullah saw menjawab : “Apa pula yang akan kau tanyakan, padahal hukumnya sudah jelas”. Pada waktu itu juga ‘Uqbah menthalaq istrinya, yang kemudian diberitakan kawin dengan orang lain.
Perhatian dan semangat yang besar dari para sahabat untuk menerima dan meriwayatkan hadis disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut M. Syuhudi Ismail, hal ini paling tidak disebabkan oleh empat hal, diantaranya : pertama, petunjuk Allah dalam al-Qur’an menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah al-hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang yang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka. Petunjuk Allah tersebut telah mendorong para sahabat untuk lebih banyak mengetahui dan memperoleh berita berkenaan dengan pribadi Nabi. Dalam hal ini, bertemulah keteladanan yang diberikan oleh Nabi, perintah ketaatan yang ditetapkan oleh Allah dan keimanan yang mendalam di jiwa para sahabat Nabi;
Kedua, Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang berpengetahuan. Ajaran ini telah mendorong para sahabat untuk berupaya memperoleh pengetahuan yang banyak. Pada zaman Nabi, sumber pengetahuan yang sangat besar daya tariknya bagi para sahabat adalah diri Nabi sendiri;
Ketiga, Nabi memerintahkan para sahabat untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham dari pada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah Nabi itu telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
Keempat, pada umumnya masyarakat cenderung mengikuti perkembangan dan tingkah laku pemimpinnya, lebih-lebih bila pemimpinnya itu dinilai berhasil. Nabi Muhammad telah dinilai oleh masyarakat sebagai pemimpin yang berhasil. Karenanya tidaklah mengherankan bila tingkah laku Nabi selalu menjadi bahan berita. Apalagi masyarakat, dalam hal para sahabat Nabi, menempatkan Nabi Muhammad bukan sekedar sebagai pemimpin mereka semata, melainkan juga sebagai utusan Allah. Keyakinan ini membawa sikap ketaatan bukan sekedar berdampak keduniawian semata, melainkan juga keakhiratan.
Masih menurut Syuhudi Ismail, bahwa semangat yang besar di kalangan para sahabat ini, ternyata juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Nabi saw. Sebab, hal ini akan mengakibatkan mereka cenderung untuk menyebarkan berita tersebut tidak pada proporsinya, dan pada akhirnya mereka akan terjerumus ke dalam penyampaian berita yang tidak benar. Karena pada umumnya, manusia cenderung senang “membumbui” berita yang disampaikannya. Di sisi lain, masyarakat pada umumnya juga lebih senang kepada berita-berita yang sifatnya sensasional dan yang didramatisir. Kekhawatiran Nabi tersebut nampak pada sabdanya :
“Telah cukup seseorang dinyatakan berdusta apabila orang itu menceritakan seluruh yang didengarnya”. Hadis ini – menurutnya lebih lanjut – dan juga hadis-hadis lain yang senada, dinyatakan oleh al-Nawawiy sebagai petunjuk tentang larangan menceritakan semua berita yang telah didengar. Berita yang didengar ada yang benar dan ada yang bohong. Jika semua berita yang didengar diceritakan, berarti orang itu telah menyampaikan berita bohong.
Disamping para sahabat memiliki perhatian yang sangat besar dalam menerima dan meriwayatkan hadis Nabi, mereka juga menggunakan beberapa metode (manhaj) yang sangat efektif ketika menerima hadisnya. Secara garis besar metode yang digunakan para sahabat dalam menerima hadis Nabi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu metode langsung (direct) dan metode tidak langsung (indirect). Untuk metode yang disebutkan kedua (indirect metode) lebih disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) kesibukan yang dialami sahabat. Hal ini tercermin, misalnya, erpada kesepakatan antara Umar Ibn Khaththab dengan tetangganya Ibn Zaid, untuk saling bergantian ketika menghadiri majlis Nabi; (2) tempat tinggal sahabat yang jauh. Dengan demikian mereka menerima hadis melalui orang kedua sesudan Nabi saw; (3) perasaan malu untuk bertanya langsung kepada Nabi saw. Sebagaimana riwayat al-Bukhari, Muslim, dan Nasa’I dari Aisyah binti Abu Bakar. Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah tentang tata cara membersihkan diri dari haid. Rasulullah saw bersabda kepadanya : “Ambilah sepotong kain yang diperciki dengan wangi-wangian dan berwudlulah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi : “Wahai Rasulullah, bagaimana saya berwudlu dengan kain itu?”. Rasulullah mengulangi ucapannya tadi, akan tetapi wanita itu belum juga memahaminya. Rasulullah saw menyuruh Aisyah untuk menjelaskan hal tersebut kepadanya. Aisyah pun menjelaskan maksud beliau, yaitu agar wanita itu mengambil secarik kain yang bersih dan kemudian mengusapkannya di tempat keluar darah haid. Sekiranya kain itu tetap putih, itu tandanya haid telah berhenti; dan (4) Nabi sendiri yang menghendaki adanya perantara.
Sementara itu, untuk metode yang disebutkan pertama (direct metode) dapat melalui beberapa cara, yaitu (1) melalui majlis pengajian Nabi saw yang diadakan pada waktu-waktu tertentu; (2) adanya perilaku umat yang disaksikan oleh Nabi saw yang menghendaki penjelasan atau jawaban langsung dari Nabi.

  1. Tingkat Penerimaan Hadis di Kalangan Sahabat
Pada periode pertama ini, terjadi perbedaan tingkat cara penerimaan hadis di kalangan sahabat. Diantara mereka ada yang memiliki banyak hadis, sementara yang lainnya hanya sedikit kepemilikannya terhadap hadis Nabi.
Para sahabat yang banyak menerima hadis dari Nabi saw ada beberapa kelompok diantaranya :
Pertama, mereka yang pertama kali masuk Islam atau yang biasa dikenal al-Sabiqun al-Awwalun seperti a-Khulafa al-Rasidin.
Kedua, mereka yang selalu berada disamping Nabi saw dan bersungguh-sungguh menghafal hadisnya seperti Abu Hurairah atau yang mencatatnya seperti Abdullah bin Amr bin Ash.
Ketiga, mereka yang berusia panjang seperti Annas bin Malik dan Abdullah bin Abas.
Keempat, mereka yang secara pribadi erat hubungannya dengan Nabi saw yaitu istri-istri Nabi saw seperti Aisyah dan Ummu Salamah.

B.   HADIS PADA MASA SAHABAT
Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa sahabat khususnya khulafa al –Rasyidin. Periode ini juga dikenal dengan zaman al-Tasabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yaitu periode membatasi hadis dan menyedikitkan riwayat.
1.    Abu Bakar Al-Shiddiq
Pada masa pemerintahan Abu Bakar, periwayatan hadis dilakukan dengan sangat hati-hati. Sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan sikap kehati-hatiannya adalah Abu Bakar Shiddiq.
Sikap ketat dan kehati-hatian Abu Bakar tersebut juga ditunjukkan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar catatan-catatan hadis yang dimilikinya hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah putri Abu Bakar bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar 500 hadis. Tindakan Abu Bakar tersebut dilatar belakangi oleh karena beliau merasa khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadis.
Dengan demikian, dapat dimaklumi kalau sekiranya aktifitas periwayatan hadis pada masa Khalifah Abu Bakar masih sangat terbatas dan belum menonjol, karena pada masa ini umat Islam masih dihadapkan oleh adanya beberapa kenyataan yang sangat menyita waktu, berupa pemberontakan-pemberontakan yang dapat membahayakan kewibawaan pemerintahan setelah sepeninggal Rasulullah saw baik interen maupun eksteren. Meskipun demikian kesemuanya masih tetap dapat diatasi oleh pasukan Abu Bakar dengan baik.

2.    Umar Ibnu al-Khatab
Kalau kita mengamati beberapa riwayat diatas dan juga riwayat-riwayat lainnya yang menyangkut beberapa peristiwa yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khatab yang seolah-olah Umar tidak mau memakai hadis Nabi dan melarang para sahabat memperbanyak periwayatan hadis, maka jika beberapa riwayat tersebut memang benar hal itu tidak dapat dipahami sebagaimana adanya, tetapi harus ditafsiri secara tersendiri. Larangan Umar tersebut disamping dimaksudkan sebagai peringatan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis, juga supaya perhatian mereka terhadap al-Qur’an tidak terganggu.
Meskipun demikian, pada masa Umar ini periwayatan hadis juga telah banyak dilakukan oleh umat islam. Tentu dalam periwayatan tersebut tetap memegang prinsip kehati-hatian. Sikap hati-hati yang dilakukan Umar ini disamping untuk menghindarkan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis juga dapat menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan hadis.

3.    Usman Ibnu Affan
Pada masa Usman Ibnu Affan, periwayatan hadis dilakukan dengan cara yang sama dengan dua Khalifah sebelumnya, yakni tetap menjaga sikap hati-hati. Hanya saja, usaha yang dilakukan oleh Usman ini tidaklah setegas yang dilakukan oleh Umar bin Khatab.
Meskipun Usman, melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, namun pada zaman ini, kegiatan Islam dalam periwayatan hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan periwayatan pada zaman dua khalifah sebelumnya. Hal ini disebabkan karena selain pribadi usman yang tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah bertambah makin luas yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat.

4.    Ali Ibnu Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam meriwayatkan hadis tidak jauh berbeda dengan para khalifah pendahulunya. Artinya, Ali dalam hal ini juga tetap berhati-hati didalam meriwayatkan hadis. Bahkan Ali baru bersedia menerima suatu riwayat apabila periwayat hadis tersebut mengucapkan sumpah, bahwa hadis yang disampaikannya itu benar-benar berasal dari Nabi saw. Hanya saja, kepada orang-orang yang benar-benar dipercayainya, Ali tidak meminta untuk bersumpah.
Dengan demikian, fungsi sumpah dalam periwayatan hadis bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadis. Sumpah dianggap tidak perlu, apabila orang yang menyampaikan riwayat hadis telah benar-benar diyakini tidak mungkin keliru.
Dilihat dari kebijaksanaan kehati-hatian dalam periwayatan hadis pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat islam pada zaman Ali telah berbeda dengan situasi sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentangan politik di kalangan umat islam telah makin menajam. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Muawiyah telah terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadis. Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadis dapat dipercaya riwayatnya.
Kalangan umat islam sikap hati-hati dalam periwayatan hadis lebih menonjol pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Al-Khatab dibandingkan dengan pada zaman kedua khalifah sesudahnya. Pada masa Usman dan Ali kegiatan periwayatan hadis telah meluas dan mulai sulit dikendalikan. Pertentangan politik yang meruncing pada zaman Ali telah mendorong orang-orang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan hadis. Hadis yang beredar dalam masyarakat makin bertambah banyak. Dalam pada itu, untuk mendapatkan hadis yang berkualitas sahih diperlukan penelitian yang mendalam, baik terhadap masing-masing periwayatannya maupun sanad dan matannya.


Indramayu, 20 Nopember 2008
Penyusun


C A R K A S A N
NPM. 221240108051


DAFTAR PUSTAKA

1.    Studi Ilmu Hadis
Penulis                        : Muhammad Nor Ichwan, M.Ag.
Penyusun
Makalah                       : Carkasan, Mahasiswa Universitas Wiralodra Indramayu
Semester                     : I ( satu ) 2008 / 2009
Desain Cover             : Carkasan
Ilustrasi Sampul         : Inisiatif Sendiri ( penyusun makalah )
Dosen                          : Fasihah S.Th.I
Penerbit buku             : RASAIL 

2.    Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis
Karya                            : Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieq.Prof. DR.
Penyusun Makalah   : Carkasan, Mahasiswa Universitas Wiralodra Indramayu
Semester                     : I ( satu ) 2008 / 2009
Penerbit                       : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA









Menurut catatan ahli waris. Riwayat Hasbi Ash Shidieq. Dapat dibaca di fiqih Indonesia karangan Prof. Dr. Nourouzzaman Shiddieq, MA. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.

Kumpulan makalah carkasan FAI UNWIR

Komentar

Postingan Populer