PENDIDIKAN MENURUT SIMON ALEXANDER DAN NANA SYAODIH SUKMADINATA


BAB I
EMPAT STRATEGI POKOK PEMBANGUNAN PENDIDIKAN NASIONAL
A. LATAR BELAKANG
        Berbicara masalah dunia pendidikan, sebenarnya adalah berbicara masalah sumber daya manusia. Sedikitnya terdapat tiga syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yakni :
1. Sarana pendidikan
2. Buku/sumber ajar yang berkualitas
3. Guru dan tenaga kependidikan yang professional
        Namun kenyataan dilapangan menunjukan hanya 43% guru yang memenuhi syarat, artinya sebagian besar guru (57%) tidak atau belum memenuhi syarat, tidak kompeten, dan tidak professional.( E. Mulyasa. 2004 ) pantas kalau kualitas pendidikan kita jauh dari harapan, dan kebutuhan. Padahal dalam kapasitasnya yang sangat luas, pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya. Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Jika bidang¬bidang lain seperti ekonomi, pertanian, perindustrian berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, maka pendidikan berurusan langsung dengan pembentukan manusianya. Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkannya. Pendidikan juga memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, dan merupakan wahana dalam menterjemahkan pesan-pesan konstitusi, serta sarana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidup¬an yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian, dan kreativitas. Bangsa Indonesia merdeka juda tidak terlepas dari peran pendidikan para pahlawan pendidikan,  seperti KH.Hasyim As’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker merupakan bukti peran pendidikan dalam pemba-ngunan bangsa Indonesia. Mereka merintis pendidikan nasional dengan mendirikan NU, Muhammadiyah, Taman Siswa dan lainya, dan secara bertahap meningkatkan pemahaman, kesadaran, serta kecerdasan masyarakat Indonesia, sehingga menjadi bangsa yang merdeka, dan berdaulat seperti sekarang ini. Menyadari hal tersebut, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Hanya melalui pendidikan yang benar bangsa ini dapat membebaskan diri dari belenggu krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui pendidikan, bangsa ini bisa membebaskan masyarakat dari kemiskinan, dan keterpurukan. Melalui pendidikan pula, bangsa ini mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia, bahkan dalam era kesemrawutan global. Tanpa pendidikan yang kuat, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan terus tenggelam dalam keterpurukan. Tanpa pendidikan yang memadai, bangsa Indonesia akan terus dililit oleh kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Tanpa pendidikan yang baik, bangsa Indonesia sulit meraih masa depan yang cerah, damai, dan sejahtera. Persoalannya, pendidikan yang bagaimanakah yang harus dikembangkan untuk membebaskan masyarakat dari keterpurukan, agar dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa, serta membebaskan bangsa dari ketergantungan terhadap negara lain? Jawabannya sederhana, yakni pendidikan yang dapat mengem¬bangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menye¬luruh. Pendidikan demikianlah yang mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkuaiitas serta memiliki visi, transparansi. dan pandangan jauh ke depan; yang tidak hanya mementingkan diri dan kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut, sekarang banyak diabaikan, bahkan kualitas SDM Indonesia rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain; dari empat puluh tiga negara, hampir dalam seluruh bidang kehidupan Indonesia berada pada urutan sepuluh terakhir. Index pengembangan sumber daya manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia hanya menempati urutan ke 109 dari 174 negara yang terukur. Dalam hal daya saing, peringkat Indonesia juga menurun dari urutan ke 41 di antara 46 negara pada tahun 1996 menjadi urutan ke 46 di antara 47 negara pada tahun 2001. Sementara itu, hasil survey The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dimuat The Jakarta Post (3 September 2001) menunjukkan betapa rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dibanding negara lain di Asia, bahkan berada di bawah Vietnam. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan HDI dan tingkat persaingan, perlu strategi peren¬canaan pembangunan pendidikan yang tepat dalam upaya mengem¬bangkan SDM berkualitas dan profesional, sehingga mampu bersanding dan bersaing dalam era globalisasi yang sedang kita masuki.
         Sejalan dengan pemikiran di atas, Soedi.jarto (1999) mendiagnosis berbagai faktor dan memberikan rekomendasi bagi pembaruan pendidikan yang relevan dengan tuntutan pembangunan, yang intinya berkesimpulan bahwa:
1. Pelaksanaan pendidikan belum seluruhnya terencana dan sistematik diberdayakan untuk melaksanakan fungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional secara optimal.
2. Pendidikan nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasai oleh IPTEK dan persaingan global belum sepenuhnya terlaksana;
3. Pendidikan nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditi yang mutunya mampu bersaing dan mampu mengembangkan system perdagangan;
4. Pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu mengembang-kan manusia Indonesia yang religius, berahlak kesatria, dan patriotic;
5. Agar pendidikan nasional benar-benar mampu melaksanakan fungsinya dan mencapai tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, perlu dikembangkan dan dilaksanakan program pendidikan pada semua jenis dan jenjang yang dapat berfungsi sebagai lembaga sosialisasi dan pembudayaan berbagai kemam¬puan, nilai, sikap dan ahklak yang dituntut oleh masyarakat Indonesia yang maju, adil dan makmur serta demokratis berdasarkan Pancasila dan  Undang-Undang Dasar 1945.
        Memahami uraian tersebut, diperlukan pendidikan yang dapat menghasilkan SDM berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan (continuous quality improvement). Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allh SWT, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan tersebut telah digariskan pula dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).


B.  KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM DUNIA PENDIDIKAN
1.      PENINGKATAN PEMERATAAN KESEMPATAN PENDIDIKAN
        Dalam periode pembangunan 2005 – 2009, reformasi pendanaan pendidikan telah menghasilkan terobosan penting yang meliputi program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), BOS buku, bantuan khusus murid (BKM), dan Beasiswa dari tingkat Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi yang brtujuan mendukung penyediaan dana pendidikan bagi peserta didik, khususnya bagi masyarakat miskin atau berkekurangan serta peningkatan mutu melalui Bantuan Operasional Menejemen Mutu (BOMM).
        Melalui BOS, BKM dan beasiswa telah terbukti dapat secara signifikan menurunkan angka putus sekolah dan meringankan beban orang tua dalam menyediakan biaya pendidikan bagi anak. Kegiatan ini telah menjadi best practice yang diakui oleh UNESCO dan berdasarkan survey nasional yang dilaksanakan oleh The Indonesian Research and Development Instiut (IRDI) pada Oktober 2008 terungkap bahwa 75,9% responden menyatakan positif dan mendukung program BOS.
        Sjalan dengan amanat Pasal 31 ayat (1) dan (2) amandemen UUD 1945 bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pada tahun 2010 – 2014 Depdiknas akan mempertahankan kegiatan pendanaan pendidikan yang telah terbukti efektif, yaitu :
a)      BOS bagi pendidikan dasar
b)      BKM bagi pendidikan dasar menenga
c)      Beasiswa bagi pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi
d)     Bantuan biaya operasional penyelenggaraan (BOP) bagi pendidikan anak usia dini dan non formal.
Khusus untuk pendidikan dasar, Depdiknas melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah untuk akan meneruskan program sekolah dasar gratis di seluruh Indonesia.
        Permasalahan dalam pendistribusian dan pemanfaatan pendanaan missal ini akan diselesaikan dengan meningkatkan fungsi pengendalian dan dan pengawasan dengan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP), Inspektorat daerah, serta didukung oleh peran serta masyarakat khususnya melalui komite sekolah dan dewan pendidikan.
2.      RELEVANSI PENDIDIKAN DENGAN PEMBANGUNAN
        Sebagai upaya peningkatan akses dan mutu pendidikan serta menjamin terpenuhinya hak warga Negara atas pendidikan, pemerintah berusaha memperbanyak dan meningkatkan kualitas berbagai prasarana fisik pendidikan, antara lain rehabilitasi prasarana pendidikan, pengadaan ruang kelas dan unit sekolah baru (USB), serta pembangunan perpustakaan dan laboratorium.
        Pada tahun 2010 – 2014, Depdiknas akan meneruskan kebijakan dengan ketentuan sebagai berikut.
a.       Pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) dilakukan didaerah-daerah yang benar-benar membutuhkan. Suatu daerah dianggap layak dan membutuhkan didasarkan pada kebutuhan objektif daerah bersangkutan, yang diukur dengan angka partisipasi kasar (APK) atau angka partisipasi sekolah (APS) yang telah dicapai oeleh daerah tersebut. Sejalan dengan logika itu, lokasi pembangunan USB cenderung dikonsentrasikan didaerah-daerah pemekaran, pedesaan, terpencil, terisolir, dan daerah yang termasuk kantong kemiskinan.
b.      Pembangunan ruang kelas baru (RKB) merupakan upaya lain yang dilakukan dalam rangka memperluas daya tamping satuan pendidikan. Mekanisme subsidi dipakai dalam membangun RKB yang diberikan kepada sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta.
c.       Pendirian perguruan tinggi negeri (PTN) baru yang dilakukan pada provinsi yang belum memiliki PTN dan ditempuh dengan mengubah status salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) yang telah berdiri diprovinsi tersebut.
        Pengadaan dan pembangunan sarana pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan ditempuh dengan melanjutkan kegiatan-kegiatan :
a.       Penyediaan perpustakaan sekolah sebagai sumber belajar yang sangat penting dan bertugas sebagai  media penyampaian publikasi kekayaan  intelektual dan sarana pendudkung kegiatan pendidikan dan sesuai dengan amanat UU RI No. 43/2007 tentang perpustakaan yang mewajibkan semua sekolah/madrasah dan perguruan tinggi memiliki perpustakaan sendiri dan berbasis TIK.
b.      Penyedian laboratorium yang relevan seperti laboratorium IPA, laboratorium bahasa, dan laboratorium computer ditingkat sekolah dasar/madrasah serta berbagai bentuk laboratorium berspesialisasi di perguruan tinggi.
        Periode pembangunan 2005-2009, Pemerintah Kabinet pembangunan Indonesia Bersatu berkomitmen untuk mengatasi ruang kelas sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI) yang rusak berat dan sedang dengan merekontruksi atau merehabilitasi gedung SD/MI dengan standar mutu tahan gempa. Untuk mempercepat rehabilitasi tersebut, Depdiknas mengembangkan pembagian beban bersama antara Depdiknas, pemerintah Provinsi, kabupaten dan kota dengan pola umum pembagian beban 50%, 30%,20% atau 50%, 20%, 30%. Pada periode tahun 2010-2014, rehabilitasi tetap merupakan kegiatan yang dipertahankan untuk mengantisipasi kerusakan ruang kelas yang pada periode sebelumnya dalam kondisi rusak ringan dan memperbaiki kerusakan yang terjadi akibat bencana. Pemerintah akan tetap mengalokasikan dana APBN dalam bentuk dana dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk merehabilitasi ruang kelas SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK termasuk SLB.
3.      KUALITAS PENDIDIKAN
        Albert Einstein pernah berkata bahwa, “Education is what remains after one has forgotten everything he learned in school.” Begitu pentingnya pendidikan sehingga seorang Einstein pun sampai berkomentar tentang pentingnya pendidikan. Tanpa pendidikan, taraf hidup serta standar kualitas seorang manusia bisa dikatakan akan berdampak buruk. Seseorang yang memperoleh pendidikan yang semakin tinggi tentunya akan mempunyai kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan mereka yang hanya tamat sekolah dasar.
        Setiap negara diseluruh dunia begitu menekankan pentingnya kualitas pendidikan. Salah satu langkah konkret untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan menetapkan anggaran pendidikan yang lebih besar dibandingkan anggaran lainnya. China dan Korea Selatan menjadi dua negara yang begitu menekankan pentingnya pendidikan bagi rakyatnya. Anggaran pendidikan di China mencapai 13,1% dari anggaran negara, sedangkan di Korea Selatan anggaran pendidikan negara mencapai 18,9%. Bandingkan dengan Indonesia yang memang menganggarkan anggaran pendidikan sebesar 20%, namun pada prakteknya masih jauh dari kenyataan.
        Bisa dibilang bahwa salah satu penyebab banyaknya pengangguran di Indonesia adalah karena kesalahan pada sistem pendidikan serta pelayanan dalam kegiatan belajar mengajar. Kita akan dengan mudahnya mendengar pergantian kurikulum pada setiap pergantian menteri. Tidak bakunya standar pendidikan kita juga menyebabkan ketidapastian dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan untuk menetapkan standar kelulusan pun Indonesia masih sering kebingungan. Tidak hanya sekedar masalah kurikulum, kualitas pengajar pun bisa dibilang tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Kebanyakan para guru yang ditugaskan oleh tiap sekolah untuk memberikan transfer ilmu seperti kebingungan dalam mengajar. Entah karena bingung dengan standar pendidikan yang selalu berubah atau karena memang tidak ahli dalam bidang yang diajarkan.
Setelah mengungkit masalah kualitas pendidikan, masalah kualitas pelayanan pendidikan pun bisa dibilang sangat memprihatinkan. Masih banyaknya bangunan sekolah yang sangat buruk kondisinya. Sekolah-sekolah yang beratapkan langit pun sering kita temui. Lantainya pun terbuat langsung dari tanah, serta tidak cukupnya buku-buku yang seharusnya didapatkan oleh setiap siswa. Belum lagi mahalnya biaya sekolah dan kuliah yang menyebabkan banyak orangtua yang enggan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Padahal kita semua tahu bahwa pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Inilah realita yang dialami dunia pendidikan di Indonesia.
        Kondisi diataslah yang menghambat Indonesia untuk bisa bangkit mengatasi masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia serta tingginya angka pengangguran. Minimnya kualitas dan fasilitas pendidikan tentunya berdampak secara signifikan terhadap kualitas manusia itu sendiri. Begitu banyaknya masalah yang dihadapi pemerintah tentunya tidak bisa kita selesaikan secara cepat.         Walaupun begitu, pemerintah harus bisa membuat prioritas dalam upaya perbaikan kualitas manusia Indonesia. Realisasi anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total APBN negara harus bisa segera direalisasikan oleh pemerintah. Jangan sampai anggaran yang telah besar ini justru dikorup oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Penetapan sistem pendidikan yang baku serta tidak harus berubah pada setiap pergantian menteri harus bisa menjadi target pemerintah. Hal ini bisa memberikan kepastian bagi setiap pengajar dan sekolah. Kelengkapan fasilitas serta pemerataan kualitas pendidikan bagi setiap warga negara, khususnya daerah-daerah yang jauh dari pusat kota. Daerah-daerah seperti ini seharusnya menjadi fokus pemerintah karena banyak sekali masyarakat yang tidak memperoleh hak mereka dalam memperoleh pendidikan. Terakhir, perbaikan kualitas para pendidik pun harus bisa diperhatikan oleh pemerintah. Jangan sampai para guru yang mengajari para calon pemimpin bangsa ini justru merupakan orang-orang yang tidak mengerti apa yang mereka ajarkan. Inilah beberapa hal yang harus segera dilakukan pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah SDM di Indonesia.
4.      EFESIENSI PENGELOLAAN PENDIDIKAN
        Penyelenggaraan pendidikan yang efektif dan efisien pada tataran pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan kabupaten/kota harus mengacu kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM).Sedangkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah harus pula mengacu pada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Oleh karena itu, SPM dan MBS merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam upaya mewujudkan mutu pendidikan.
        Tugas dan tanggungjawab Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di era otonomi daerah (Otda) dalam pelaksanaan pengelolaan dan pembangunan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota diminta atau tidak diminta harus mempunyai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam rangka memenuhi tugas utama yang sangat strategis, yaitu menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Lewat SPM diharapkan dapat menjadi rambu-rambu sebagai indikator dinas pendidikan kabupaten/kota dalam menjaga dan mengukur ketercapaian kualitas pendidikan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa sekolah-sekolah yang mampu minimal mendekati atau bahkan melebihi SPM itu akan mampu menjaga kualitas sekolah dengan optimal. Sekolah-sekolah yang berhasil melampau SPM yang ditetapkan dinas pendidikan tersebut selayaknya diberi reward sebagai pengelola yang berprestasi.
        Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dinas pendidikan kabupaten/kota dituntut menyusun standar pelayanan minimal dan berbagai kebijakan dan strategi yang kemudian dijabarkan ke dalam bentuk program dan kegiatan yang diaplikasikan dan diimplementasikan pada tingkat sekolah dan dinas pendidikan itu sendiri. Keseluruhan program dan kebijakan tersebut harus dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi, baik yang terkait dengan substansi dan pengelolaannnya di tingkat sekolah maupun di dinas pendidikan. Dengan demikian akan tercapailah yang disebut dengan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, kesetaraan dan kepastian pendidikan.
        Di dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan dengan tegas bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan penidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal(SPM) dengan prinsip manajemen berbasih sekolah/madrasah (psl. 51:1). Secara yuridis, manajemen berbasis sekolah (MBS) dan SPM dijamin di dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan.
        Manajemen berbasis sekolah dimaksudkan untuk efektivitas (mutu) dan efesiensi pengelolaan serta akuntabilitasnya kepada berbagai orang, kelompok, atau organisasi (stake-holders) maka standar pelayanan minimal menjadi permasalahan pokok dalam pencapaian kualitasnya. Dinas Pendidikan dan sekolah tidak akan dapat berbicara mutu atau menagih hasil pendidikan yang berkualitas manakala tidak terpenuhinya terlebih dahulu standar pelayanan minimal.
        Bagaimana sekolah akan mengimplementasikan MBS, yang berkaitan erat dengan kurikulum, ketrampilan, perencanaan pengembangan sekolah, perencanaaan kerja sekolah dan elemen-elemen lainnya seperti standar kompetensi, akreditasi, proses pembelajaran, evaluasi sebagai tagihan hasil, kalau suatu sekolah fasilitasnya tidak terpenuhi, gurunya kurang dan lain-lain. Dalam hal ini dituntut ketegasan tentang pemenuhan SPM.
        Sebagaimana diketahui bahwa Surat Keputusan Mendiknas nomor 035/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal penyelenggaraan persekolahan bidang pendidikan dasar dan menengah adalah ditujukan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota untuk dapat melaksanakan kewenangan di bidang pendidikan. Pendidikan dasar dan menengah adalah spesifikasi teknis sebagai patokan pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kegiatan persekolahan.        Seiring dengan diberlakukannya undang-undang nomor 22 tahun 2009 dan diperbaharui dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, maka dinas pendidikan kabupaten/kota menjalankan tugas dan fungsi utama memberikan pelayanan dan pengelolaan satuan pendidikan tanpa diskriminasi.
        Disamping tugas dan fungsi utama tersebut, dinas pendidikan kabupaten/kota juga menjalankan tugas dan fungsinya yang lain yaitu: memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri dan swasta yang berkaitan dengan pelaksanaan MBS, memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh aset/sumber daya pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan, dan sebagainya, melaksanakan pembinaan dan pengurusan atas tenaga pendidik yang bertugas dalam MBS, dan melaksanakan monitoring dan evaluasi (Depdiknas, 2006).
        Secara mikro, meso dan makro monitoring dan evaluasi merupakan bagian integral dari pengelolaan pendidikan. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan monitoring dan evaluasi, kita dapat mengukur indikator keberhasilan yang telah dituangkan dalam SPM tentang kemajuan pendidikan secara mikro (sekolah), dan meso (dinas pendidikan kabupaten/kota).
        Berkaitan dengan pelaksanaan MBS pada tingkat satuan pendidikan, komponen-komponen konteks, input, proses, output dan outcome saling terkait secara otomatis. Konteks adalah eksternalisasi sekolah berupa demand and support yang berpengaruh pada input sekolah. Alat monitoring yang tepat untuk mengevaluasi konteks adalah needs assessment. Input adalah segala bentuk barang, perangkat lunak dan harapan yang juga dapat dikategorikan dalam tiga klasifikasi yaitu, harapan, sumberdaya, dan input manajemen. Harapan terdiri dari visi, misi, tujuan, dan sasaran. Sumber daya yaitu sumber daya manusia dan sumberdaya berupa uang, peralatan, perlengkapan dan sebagainya. Sedangkan input manajemen meliputi: tugas, rencana, program, regulasi (ketentuan-ketentuan, limitasi, prosedur kerja dan lain sebagainya). Input merupakan prasayarat untuk berlangsungnya proses.
        Alat monitoring yang tepat digunakan adalah informasi tentang ketersediaan dan kesiapan. Proses terdiri dari proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan, proses kelembagaan, proses belajar mengajar, proses evaluasi, dan proses akuntabilitas. Dengan demikian fokus evaluasi pada proses adalah pemantauan implementasi. Output adalah hasil nyata berupa academic achievement dan non-academic achievement. Fokus evaluasi yang tepat dilakukan adalah immediate objectives. Sedangkan outcome adalah hasil jangka panjang. Alat evaluasinya yang tepat adalah cost benefit analysis.
        Keseluruhan konsep MBS tersebut harus dituangkan kedalam SPM untuk dapat mengukur sejauhmana sesungguhnya indikator keberhasilannya. Dari hasil ini pula dapat dilakukan perbaikan atau pengengembangan mutu pendidikan untuk masa yang akan datang. Sesungguhnya untuk meningkatkan mutu pendidikan itu hanya dapat dilakukan melalui total quality control (TQC). Menurut Brosur Kadin Jabar, 1998 dalam S.P Hasibuan, 2008 mengatakan bahwa an effective system for intergrating the quality development, quality maintenance and quality improvement efforts of the various groups in organization so as to enable production and service at the most economical levels which allow for full, customer satisfaction. (Pengendalian mutu terpadu adalah suatu sistem yang efektif untuk mengintegrasikan usaha-uasaha pengembangan kualitas, pemeliharaan kualitas, dan perbaikan kualitas atau mutu dari berbagai kelompok dalam organisasi, sehingga meningkatkan produktivitas dan pelayanan ketingkat yang paling ekonomis yang menimbulkan kepuasan seluruh pelanggan).










BAB II
GURU MEMEGANG PERANAN YANG CUKUP PENTING BAIK DALAM PERENCANAAN MAUPUN PELAKSANAAN KURIKULUM

I.            PENGEMBANGAN KURIKULUM
        Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu : (1) pendekatan top-down the administrative model dan (2) the grass root model
A.    The administrative model
        Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih sekuens materi, memilih strategi pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.
        Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top – Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
B.     The grass root model
         Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.
         Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
          Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah. 
         II.            KOMPONEN-KOMPONEN KURIKULUM
        Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
1)      Tujuan
        Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
  1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
  2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
  3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
        Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..
        Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
        Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
  1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
        Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.
        Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :
1. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS
  • Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
  • Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
  • Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
  • Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
2. Tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA
  • Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu, rumah tangga, masyarakat, dan negara
  • Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi
  • Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara
  • Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional
3. Tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MAK
  • Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat
  • Berwirausaha dalam bidangnya
  • Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya
  • Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.
4. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MAK
  • Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
  • Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
  • Berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
  • Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di tingkat lokal, nasional, dan global.
         Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
        Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
        Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
  1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
  2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
  3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan psikologis.
        Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
        Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
        Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
        Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
        Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang.
2)      Materi Pembelajaran
        Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
  1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
  2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
  3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
  4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
  5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
  6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
  7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
  8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
  9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
  10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
        Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
        Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel..
        Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
  1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
  2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
  3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
  5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
        Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
  1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
  2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
  3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
  4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
  5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
  6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
  7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
  8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.
3)      Strategi pembelajaran
        Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
        Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
        Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
        Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
        Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
        Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.
        Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
4)      Organisasi Kurikulum
        Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
  1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
  2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
  3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
  4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
  5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
  6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
        Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
        Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.
5)      Evaluasi Kurikulum
        Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum
         Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
        Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
        Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
        Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya
        Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
        Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
        Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
        Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
  1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
  2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
  3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
  4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.
        Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Menyadari hal tersebut, betapa pentingnya untuk meningkatkan aktivitas, kreatifitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Hal tersebut lebih nampak lagi dalam pendidikan yang dikembangkan secara desentralisasi sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, karena di sini guru diberi kebebasan untuk memilih dan mengembangkan materi standar dan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi serta kebutuhan daerah dan sekolah.












BAB III
DUA KUNCI PENTING DARI PERAN GURU YANG BERPENGARUH TERHADAP PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA
       I.            Jumlah Waktu yang Efektif yang digunakan Guru untuk melakukan Pembelajaran
       Dalam dimensi operasional terutama pada jalur sekolah, guru merupakan salah satu unsur  pendidikan  lebih khusus lagi  dalam tingkatan instruksional dan eksperiensial. Guru berada dalam front terdepan pendidikan yang berhadapan  secara langsung dengan  peserta didik melalui  proses interaksi  instruksional  sebagai wahana terjadinya  proses pembelajaran  siswa dengan nuansa pendidikan.  Dalam proses ini terjadilah  suasana eksperiensial  yaitu diperolehnya  pengalaman belajar siswa untuk memperoleh perubahan  perilaku ke arah  yang lebih baik sesuai dengan tujuan  pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penentu kualitas proses  dan hasil pendidikan  terletak pada kinerja “ perilaku mengajar “ para guru ( Mohamad Surya : 2003 ).
        Perilaku mengajar guru yang diwujudkan  dalam “interaksi pengajaran” menimbulkan “ perilaku belajar  “ siswa. Yang pada gilirannya  akan menghasilkan “hasil “ para siswa. Dalam konteks ini terjadi keterkaitan  timbal balik antara  “ perilaku mengajar”, “ interaksi pengajaran “. “ perilaku  belajar”, dan “ hasil belajar. “. Kualitas hasil belajar sebagai indikator  kualitas pendidikan  ditentukan oleh kualitas “perilaku belajar” siswa  yang terwujud melalui  proses  “interaksi  pengajaran” yang dikreasikan  oleh “ perilaku  mengajar “ dari  guru. Dengan demikian dapat dikatakan  bahwa keefektivan  pendidikan diawali dengan kualitas “ perilaku mengajar “ dari  para  guru.
        Kualitas perilaku mengajar dari guru ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal, seperti tingkat pendidikan, penguasaan subjek, pengalaman, kualitas kepribadian, kualitas kehidupan, sikap dan ahaan diharapkan dapat mengubah pola pikiran  ketergantungan kepada instansi  formal menuju kemandirian yang lebih kreatif untuk menciptakan  lapangan kerja.pandangan lingkungan masyarakat, dan lain sebagainya. Dengan kata lain kualitas perilaku guru dalam menyiasati segenap tugas profesinya menjadi kunci keberhasilan pendidikan. Kualitas perilaku guru  itulah mengantarkan  guru tersebut dikategorikan sebagai “guru berkualitas”. Guru berkualitas  biasanya  menjadi idola masyarakat terlebih khusus peserta didiknya. Ada pun guru yang diidolakan  itu mempunyai sikap 5 E  ( efektif, edukatif, evaluatif, energik,  dan emansipatif ) terpadu dalam dirinya sebagai sosok seorang guru.
        Pertama, efektif. Pembelajaran dikatakan  efektif apabila  mampu memberikanpengalaman baru, dan membentuk kompetensi peserta didik  serta mengantarkan mereka ke tujuan yang ingin dicapai secara  optimal ( E. Mulyasa : 2006 ).
        Pembelajaran efektif hanya akan terjadi apabila diampu oleh guru efektif. Guru efektif selalu melibatkan siswa  secara aktif dalam proses pembelajarannya. Siswa dipersilakan mengunyah-unyah materi pelajaran hingga lumat melalui berbagai kegiatan praktikum, diskusi, tanya jawab , debat terarah dan lain-lain untuk menuju  pemahaman materi  di bawah kendali guru efektif. Oleh karenanya guru efektif dituntut selalu memperbaiki  kinerjanya , misalnya melalui penelitian tindakan kelas ( PTK ) atau pun melalui kajian mendalam tentang  proses pembelajaran ( lesson study ).
        Di dalam pelaksanaan pembelajaran kesehariannya, guru tak dapat melepaskan dengan  pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang diberikan kepada siswa hendaknya tidak hanya tentang apa, siapa dan di mana akan tetapi  lebih banyak menekankan pada pertanyaan mengapa atau bagaimana. Oleh karena itu mengemukakan  permasalahan  ( problem ) kepada siswa jauh lebih berbobot daripada pemberian informasi melulu. Siswa hendaknya diajak  memecahkan permasalahan, berpikir kritis, dan membangun  semangat untuk  memiliki keingintahuan  yang tinggi.
        Kedua, edukatif.   Edukatif  merupakan peran  utama dan  terutama   khususnya untuk peserta didik  pada jenjang  pendidikan dasar ( SD dan SMP ). Peran ini lebih tampak sebagai  teladan bagi peserta didik, sebagai role model, memberikan  contoh dalam hal sikap dan perilaku  dan membentuk kepribadian peserta didik  ( Suparlan : 2005 ).
        Di dalam perannya sebagai  edukator, guru diharapkan memenuhi perannya    sebagai : a)  pengembang  kepribadian  peserta  didik,  b)  pembimbing  peserta didik,  c)  pembina budi pekerti peserta didik dan   d)  pemberi pengarahan kepada peserta didik. Dengan kata lain guru hendaknya membantu peserta didik yang sedang berkembang  untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya , membentuk kompetensi, dan memahami materi  standar yang  dipelajari. Di dalam pembelajaran , guru harus berpacu memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik  agar  dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
        Ketiga, evaluatif. Evaluasi atau penilaian  merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan serta vsrisbel lain  yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap penilaian. Tak ada proses pembelajaran tanpa penilaian . Mengapa ? Karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian  tujuan pembelajaran ( E. Mulyasa : 2005 ).
        Mengingat penilaian itu harus dilaksanakan  dengan prinsip-prinsip dan teknik  yang sesuai , maka guru perlu  memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai. Selama menilai peserta didik, guru hendaknya secara menyadari  kesalahan dan kekurangannya melalui refleksi balikan dari peserta didik. Hal ini untuk memperbaiki langkah-langkah  yang lebih berkualitas. Guru yang mau menilai  kemampuan kognitif, perilaku dan keterampilan secara terpadu  pada peserta didiknya adalah guru yang bertanggung jawab.  Selain menilai hasil belajar peserta didik , guru harus mau menilai dirinya sendiri  secara objektif . Guru yang demikian inilah merupakan guru yang benar-benar evaluatif.
        Keempat, energik. Energi adalah tenaga. Energik berarti tenaganya digunakan secara maksimal.  Guru yang energik adalah guru yang melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh dalam hal pikiran, tenaga, waktu dan konsentrasinya.  Guru energik selalu mengabdikan segenap kemampuannya secara totalitas demi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya dan peningkatan kualitas peserta didik khususnya. Ia selalu energik dalam mengembangkan  berbagai metode pembelajarannya, menerapkan berbagai strategi, meningkatkan penguasaan  materi ajar, merancang  pengadaan media pembelajaran yang sesuai, hemat dalam memenejemen waktu, selalu berusaha menerapkan pembelajaran dengan konsep PAKEM ( produktif, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan ) dan mampu menmggugah semangat  dan ide-ide  baru  peserta didiknya.
        Kelima, emansipatif. Emansipasi adalah pembebasan kaum budak menjadi kaum yang merdeka. Dengan kata lain emansipasi adalah persamaan hak. Sebagai kaum pendidik, guru seharusnya menyadari bahwa di dalam tugasnya terkandung unsur keadilan, penggugah semangat peserta didik dan  penerang dalam kegelapan  generasi masa depan. Dengan modal memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insan, guru hendaknya menyadari bahwa kebanyakan manusia  merupakan budak stagnasi kebudayaan  ( E. Mulyasa : 2005 ).
        Dalam komunitas makhluk hidup pada umumnya  dan komunitas siswa khususnya  pasti ada kelompok pandai, sedang dan kurang pandai, kelompok aktif, sedang dan kurang aktif, kelompok rajin,sedang dan kurang rajin, dan lain-lain yang ujungnya secara psikologis mereka itu membuat kelompok-kelompok yang anggotanya dianggap setara.
        Kelompok yang terakhir  yakni kelompok kurang mampu, kurang pandai,kurang rajin, kurang aktif, kurang cerdas sering mengalami minder, kurang percaya diri, tidak termotivasi untuk mengembangkan diri dan paling parah timbulnya perasaan putus asa.
        Menghadapi kelompok yang demikian ini , guru hendaknya segera bertindak sesuai perannya sebagai emansipator. Mengembalikan kelompok ini menjadi  bangkit, termotivasi, percaya diri dan tidak putus asa adalah peran guru sebagai emansipator.
        Demikian lima E sikap guru yang diidolakan oleh para siswa maupun masyarakat di lingkungannya sekaligus merupakan sikap guru berkualitas. Apabila guru benar-benar bersikap sebagaimana disebut lima E di atas maka akan meningkatkan kualitas sekolahnya, kualitas peserta didiknya  dan pada gilirannya akan meningkatkan  kualitas pendidikan. Apabila guru menyadari peran yang mulia ini,  guru  mau dan mampu menerapkan pada peserta didiknya niscaya akan terwujud jembatan penghubung  dari ketidaktahuan menjadi pandai, dari keputusasaan menjadi  bangkit untuk menwujudkan masa depannya yang lebih berkualitas.
        Mudah memang untuk dikata lima E akan tetapi sulit untuk diwujudkan. Sikap lima E untuk guru  merupakan penyiapan menuju guru professional. Padahal  profesionalisme guru merupakan suatu keharusan seiring dengan kemajuan jaman  . Dengan demikian upaya  pemahaman  guru terhadap lima sikap  E ini perlu dilakukan.  Mengapa ?  Sikap lima E guru ini lebih terfokus pada  kualitas kemampuan guru. Seperti dirangkum oleh Simon dan Alexander ( 1980) dalam E. Mulyasa (2005) bahwa lebih dari 10 hasil penelitiannya di negara-negara berkembang, menunjukkan adanya 2 kunci  penting dari peran guru yang berpengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar peserta didiknya yaitu jumlah waktu efektif yang digunakan guru untuk melakukan pembelajaran di kelas dan-kualitas-kemampuan-guru.
    II.            kualitas Kemampuan Guru

        Guru sebagai seorang agen pembelajaran wajib merancang dan mengembangkan proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Ini akan membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi yang di harapkan. Merencanakan dan mengembangkan suatu proses pembelajaran tidak akan optimal apabila dikerjakan secara individu karena perencanaan membutuhkan banyak komponen dan harus disusun secara sistematis. Bagaimana sebuah standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) harus dianalisis dan dikembangkan menjadi beberapa indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaraan, dan bahan ajar. Pendekatan, model, dan strategi pembelajaran apa yang sesuai dengan karakteristik peserta didik maupun mata pelajaran. Hal tersebut akan efektif apabila dilakukan secara berkelompok di dalam sebuah wadah pengembangan profesi. Dengan demikian akan tercipta mekanisme saling belajar di antara guru sebagai pendidik.
Melalui wadah pengembangan profesi seperti MGMP (musyawarah guru mata pelajaran), perencanaan dan pengembangan proses pembelajaran akan lebih mudah dilaksanakan, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik, sekolah, mata pelajaran, dll. Ditunjang dengan berbagai panduan pengembangan yang disusun oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), guru akan lebih mudah dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai proses pembelajaran. Peserta didik pun akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa yang dimaksud 'guru' adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Hal ini sekaligus merupakan pengakuan terhadap profesi guru sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada sembilan tujuan dikeluarkannya UU No. 14 tahun 2005 ini yang dijelaskan dalam bagian penjelasannya, di antaranya: meningkatkan martabat guru, meningkatkan kompetensi guru, dan meningkatkan mutu pembelajaran, Berdasarkan UU tersebut dan kenyataan di lapangan tampak bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakan sehingga pada akhirnya berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan proses belajar mengajar yang efektif, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas, pengelolaan kelas, penggunaan metoda mengajar, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Untuk memenuhi hal tersebut di atas, guru harus mampu mengelola proses belajar mengajar yang memberikan rangsangan kepada peserta didik sehingga ia mau belajar karena memang peserta didiklah subjek utama dalam belajar. Guru yang mampu melaksanakan perannya sesuai dengan tuntutan seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai seorang guru yang memiliki kompetensi.
Sebagai standar kompetensi yang perlu dimiliki oleh guru dalam melaksanakan profesinya, pemerintah mengeluarkan Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional. Menilik pada Standar Kompetensi Guru yang dikeluarkan tersebut, pertanyaan-pertanyaan berikut ini cukup menggoda untuk sama-sama direnungkan. Apakah "kita" para guru sudah memiliki kompetensi tersebut? Bagaimana menyikapinya?
        Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak dan dapat bersosialisasi dengan baik. Mereka harus :
(1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealism
(2) memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya
(3) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya
(4) mematuhi kode etik profesi
(5) memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas
(6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya
(7) memiliki kesempatanuntuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan
(8) memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya
(9) memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum ( sumber UU guru dan dosen).
        Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi,pelatihan berkala,dsb. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Dengan integrasi barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
        Meningkatkan kompetensi guru sepertinya merupakan hal yang tidak bisa di tawar lagi. Tuntutan untuk meningkatkan kompetensi bahkan sekarang datang dari dalam diri guru sendiri. Lewat seminar atau workshop yang sekarang menjamur. Mengakhiri tulisan ini saya akan membahas serba-serbi sekolah dalam meningkatan kompetensi guru. Berapa anggaran sekolah anda dalam setahun? Sudahkan membuat survey mengenai, jenis peningkatan serta subyek apa saja yang ingin di tingkatkan dari diri setiap guru. Sudahkan ada catatan mengenai ’siapa pergi ke seminar atau workshop apa?’ Melakukan pemetaan mengenai kepandaian baru apa yang sudah dimiliki oleh guru sebagai hasil dari workshop atau seminar yang sudah dilakukan. Setelah pemetaan dilakukan, buatlah sebuah sistem dimana setiap orang yang sudah diberangkatkan atau di biayai seminar atau workshop nya untuk berbagi ilmu sepulangnya dari pelatihan kepada rekan guru yang lain. Akan tercipta iklim yang baik di antara para guru, terutama dalam peningkatan kemampuan berbicara di depan publik.





Kesimpulan

        Standar Pelayanan Minimal persekolahan bidang pendidikan dasar dan menengah sekurang-kurangnya memuat dasar hukum, tujuan, standar kompetensi, kurikulum, program kegiatan pembelajaran, peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen sekolah, indikator keberhasilan dan peran serta masyarakat.
        Secara umum, manajemen berbasis sekolah dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
        Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab berasarkan prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Sinergi antara MBS dan SPM merupakan kata kunci upaya peningkatan mutu pendidikan. Disamping itu, persistensi semua pihak insan pendidik dan tenaga kependidikan juga merupakan kunci sukses tidaknya upaya peningkatan mutu pendidikan itu.
        Upaya pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan harus diapresiasikan secara positif sebagai niat baik yang perlu didukung. Namun saran masukan dari berbagai elemen masyarakat perlu terus di upayakan, diantaranya :
1.    Perlunya pengawasan terus menerus, terpadu dan berkesinambungan terhadap program pendidikan sehingga sasaran dan tujuan dapat tercapai.
2.    Perlunya semakin banyak melibatkan para ahli pendidikan, praktisi, akademisi, dan elemen masyarakat yang lain dalam membuat rencana dan strategi pembangunan pendidikan ke depan.
3.    Perlunya diperluas cakupan perhatian pemerintah utamanya kepada lembaga pendidikan swasta dan kalangan perguruan tinggi, sehingga  ikut merasakan manfaat pembangunan pendidikan. Memprioritaskan peningkatan kemampuan profesional guru sebagai ujung tombak pencapaian kemajuan pendidikan.

       










DAFTAR PUSTAKA
Daeng Sudirwo. 2002 Otonomi Perguruan Tinggi Hubungannya dengan Otonomi Daerah. Manajerial. Vol. 01. No 1 : 72-79
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003. Model Pelatihan dan Pengembangan Silabus; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Pengelolaan Kurikulum di Tingkat Sekolah; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Tim Pengembang MKDK. 2002.. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek
SUMBER: akhmadsudrajat.wordpress

Komentar

Postingan Populer